Pada hari Rabu Pon tahun 1948, kota
Bobotsari dihancurleburkan oleh tentara Netherland Inidische Civil
Administration (Belanda). Serbuan pasukan NICA tersebut bertujuan untuk
menghancurkan pasukan Tentara Republik Indonesia yang mendapat dukungan dari masyarakat
Bobotsari dan sekitarnya. Meskipun demikian, pasukan TRI yang mendapat dukungan
dari rakyat bersama HISBULLAH tetap melakukan perlawanan terhadap tentara NICA.
Sedangkan laskar rakyat Bobotsari yaitu
HISBULLAH yang dipimpin oleh kakak beradik Rowi dan Yusuf turut serta
berjuangan melawan pasukan tentara NICA (1946-1947), meskipun pada akhirnya
kedua orang tokoh tersebut menjadi korban. Untuk menghormati dan mengingat
jasa-jasa beliu maka namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan dikota
Bobotsari yaitu Jalan Rowi-Yusuf. Dengan gugurnya Rowi-Yusuf, bangkitlah Purnomo,
seorang tokoh pemuda kota Bobotsari berusaha sekuat tenaga membangkitkan
semangat para pemuda dengan mengadakan latihan-latihan kemiliteran. Salah satu
latihan militer pada para pemuda adalah latihan baris berbaris, menggunakan
senjata (senjata tiruan yang dibuat dari kayu dicat biru). Disela-sela latihan
Purnomo berusaha membangkitkan para pemuda sambil menyanyikan sebuah syair lagu
sebagai beikut :
Dengan senjataku
ditangan kanan
Ikat pinggang penuh
peluru, granat tangan
Kita maju
menyerbu terhadap lawan
Sampai titik
darah penghabisan
Hancur musnah
mesti lenyap penjajahan
Tokoh-tokoh ulama sekitar Bobotsari
seperti Kyai Tafjani, Kyai Mihroji dan para santri juga tidak ketinggalan
memberikan dukungan terhadap pasukan TRI menghadapi tentara NICA. Para ulama
membuat senjata bambu runcing dari pohon bambu gading dan bambu ori, kemudian
diberi mantera sebagai bekal perjuangan rakyat menghadapi serangan tentara
NICA.
Tidak hanya perjuangan senjata saja,
rakyat Bobotsari bersatu padu berusaha menghambat pasukan NICA dengan cara
menebang pohon untuk merintangi jalan-jalan yang ada diwilayah Bobotsari.
Demikian pula jembatan sungai Longkrang didesa Tlagaya juga dihancurkan oleh
para laskar rakyat. Peledakan terhadap jembatan-jembatan yang ada di Bobotsari
dilakukan oleh para pemuda yang dipimpin oleh Kyai Mihroji, akan tetapi pada
waktu akan melarikan diri melalui tepi sungai dihadang oleh tentara NICA didesa
Karangtalun, sehingga sebagian besar pemuda menjadi korban, sedangkan sebagian
pemuda bersama Kyai Mihroji dapat menyelamatkan diri. Kemudian para pemuda
meracuni pasukan NICA ketika sedang makan dipasar dusun Simpangan, desa
Pakuncen.
Sebagai tindak balas terhadap perjuangan
para pemuda Bobotsari, tentara NICA/Belanda mengerahkan pasukannya dan didukung
oleh pesawat tempur jenis Capung dan Cureng, kemudian menyerbu rakyat yang
sedang belanja dipasar dusun Simpangan, desa Pakuncen. Untuk memperlancar
kembali lalulintas pasukan NICA/Belanda, maka pelanda mengerahkan pasukan
pembangun, guna membangun kembali jembatan sungai Longkrang didesa Tlagaya.
Jembatan dibanguna dari batangan-batangan besi baja oleh pasukan pembangun yang
rata-rata berbadan kekar dan bertenaga kuat.
Disi lain, ketika NICA/Belanda
membumihanguskan kota Bobotsari, rakyat mengunggsi ketempat-tempat yang aman
seperti gunung Tugel, gunung Kelir, dukuh Santi desa Palumbungan yang terletak
disebelah utara desa Dagan. Tempat tinggal para pengungsi berpindah-pindah, hal
ini terjadi kalau sudah diketahui oleh Anjing NICA. Anjing NICA adalah
orang-orang pribumi yang menjadi mata-mata tentara NICA/Belanda
Sedangkan kegiatan pertanian dan
perdagangan yang dilakukan oleh rakyat tetap berjalan, meskipun dilakukan
secara sembunyi-sembunyi. Hal ini dilakukan untuk menghindari patroli pasukan
NICA/Belanda. Apabila pasukan NICA memergoki para pedagang yang menggunakan
uang ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), maka uang beserta barang dagangannya
dirampas. Pasukan NICA melakukan patroli diantaranya menggeledah rumah rakyat
yang ditinggal mengungsi, untuk mencari tempat persembunyian para pejuang
maupun perlengkapan-perlengkapan militer. Jika ada rumah rakyat yang menyimpan
perlengkanapan militer seperti sepatu, pakain seragam dan senjata, tidak
segang-segang akan dibakar. Harga barang-barang dagangan pada saat itu berkisar
antara 750 perak sampai 600 perak. Sedangkan barang dagangan yang sangat
dibutuhkan oleh para pengunggsi yaitu minyak tanah sebagai bahan penerangan
pada malam hari.
Antara tahun 1946 sampai 1949 sudah
terselenggara, namun belum berjalan secara maksimal, karena sering terjadi
perang. Sehingga kegiatan sekolah sering berpindah-pindah, bahkan dalam situasi
perang sekolah harus tutup. Sarana pendidikan pada saat perang masih sangat
sederhana, kegiatan sekolah dilaksanakan dirumah penduduk atau gubug sederhana,
tempat duduk terbuat dari rangkaian bambu. Meja hanya ada satu itupun untuk
guru, sdangkan siswa menulis menggunakan sabak (tanah liat padat yang dibakar)
dan kapur. Setelah tahun 1951 pendidikan mulai berjalan normal kembali, karena
keamaan sudah mulai kondusif.
Diceritakan
kembali oleh Bpk Rochman dan Bpk Saeroji selaku saksi sejarah
Ditulis
kembali oleh Saefuloh Al Masnun, S.Pd
Trimakasih pak saeful,,,alur critanya sangat bagus,,cuma, terlalu singkat,,coba di gali lagi crita crita yg laen,barangkali mumpung masih ada saksi /pelaku sejarahnya, critanya lebih valid,,Asaalamualaikum,,,
BalasHapusMohon sejarah ini lebih di gali lagi saya yakin masih banyak pelaku sejarah dan referensi yang mampu mengungkap Bobotsari berhitmad untuk Bangsa.......buatkan Cergam ttg Sejarah Bobotsari tuk generasi muda kita.....Selamat berjuang kangmas Saeful, dg mata penamu nasib generasi muda bocari, bisa paham sejarah.........
BalasHapuskerenn... :D
BalasHapusijin download pak Saiful...Luar biasa pendidik yang satu ini. Hebat
BalasHapus