Selasa, 10 April 2012

PERJUANGAN PEMUDA BOBOTSARI MENGHADAPI TENTARA NICA (BELANDA)


Pada hari Rabu Pon tahun 1948, kota Bobotsari dihancurleburkan oleh tentara Netherland Inidische Civil Administration (Belanda). Serbuan pasukan NICA tersebut bertujuan untuk menghancurkan pasukan Tentara Republik Indonesia yang mendapat dukungan dari masyarakat Bobotsari dan sekitarnya. Meskipun demikian, pasukan TRI yang mendapat dukungan dari rakyat bersama HISBULLAH tetap melakukan perlawanan terhadap tentara NICA.
Sedangkan laskar rakyat Bobotsari yaitu HISBULLAH yang dipimpin oleh kakak beradik Rowi dan Yusuf turut serta berjuangan melawan pasukan tentara NICA (1946-1947), meskipun pada akhirnya kedua orang tokoh tersebut menjadi korban. Untuk menghormati dan mengingat jasa-jasa beliu maka namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan dikota Bobotsari yaitu Jalan Rowi-Yusuf. Dengan gugurnya Rowi-Yusuf, bangkitlah Purnomo, seorang tokoh pemuda kota Bobotsari berusaha sekuat tenaga membangkitkan semangat para pemuda dengan mengadakan latihan-latihan kemiliteran. Salah satu latihan militer pada para pemuda adalah latihan baris berbaris, menggunakan senjata (senjata tiruan yang dibuat dari kayu dicat biru). Disela-sela latihan Purnomo berusaha membangkitkan para pemuda sambil menyanyikan sebuah syair lagu sebagai beikut :
Dengan senjataku ditangan kanan
Ikat pinggang penuh peluru, granat tangan
Kita maju menyerbu terhadap lawan
Sampai titik darah penghabisan
Hancur musnah mesti lenyap penjajahan
Tokoh-tokoh ulama sekitar Bobotsari seperti Kyai Tafjani, Kyai Mihroji dan para santri juga tidak ketinggalan memberikan dukungan terhadap pasukan TRI menghadapi tentara NICA. Para ulama membuat senjata bambu runcing dari pohon bambu gading dan bambu ori, kemudian diberi mantera sebagai bekal perjuangan rakyat menghadapi serangan tentara NICA.
Tidak hanya perjuangan senjata saja, rakyat Bobotsari bersatu padu berusaha menghambat pasukan NICA dengan cara menebang pohon untuk merintangi jalan-jalan yang ada diwilayah Bobotsari. Demikian pula jembatan sungai Longkrang didesa Tlagaya juga dihancurkan oleh para laskar rakyat. Peledakan terhadap jembatan-jembatan yang ada di Bobotsari dilakukan oleh para pemuda yang dipimpin oleh Kyai Mihroji, akan tetapi pada waktu akan melarikan diri melalui tepi sungai dihadang oleh tentara NICA didesa Karangtalun, sehingga sebagian besar pemuda menjadi korban, sedangkan sebagian pemuda bersama Kyai Mihroji dapat menyelamatkan diri. Kemudian para pemuda meracuni pasukan NICA ketika sedang makan dipasar dusun Simpangan, desa Pakuncen.
Sebagai tindak balas terhadap perjuangan para pemuda Bobotsari, tentara NICA/Belanda mengerahkan pasukannya dan didukung oleh pesawat tempur jenis Capung dan Cureng, kemudian menyerbu rakyat yang sedang belanja dipasar dusun Simpangan, desa Pakuncen. Untuk memperlancar kembali lalulintas pasukan NICA/Belanda, maka pelanda mengerahkan pasukan pembangun, guna membangun kembali jembatan sungai Longkrang didesa Tlagaya. Jembatan dibanguna dari batangan-batangan besi baja oleh pasukan pembangun yang rata-rata berbadan kekar dan bertenaga kuat.
Disi lain, ketika NICA/Belanda membumihanguskan kota Bobotsari, rakyat mengunggsi ketempat-tempat yang aman seperti gunung Tugel, gunung Kelir, dukuh Santi desa Palumbungan yang terletak disebelah utara desa Dagan. Tempat tinggal para pengungsi berpindah-pindah, hal ini terjadi kalau sudah diketahui oleh Anjing NICA. Anjing NICA adalah orang-orang pribumi yang menjadi mata-mata tentara NICA/Belanda
Sedangkan kegiatan pertanian dan perdagangan yang dilakukan oleh rakyat tetap berjalan, meskipun dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hal ini dilakukan untuk menghindari patroli pasukan NICA/Belanda. Apabila pasukan NICA memergoki para pedagang yang menggunakan uang ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), maka uang beserta barang dagangannya dirampas. Pasukan NICA melakukan patroli diantaranya menggeledah rumah rakyat yang ditinggal mengungsi, untuk mencari tempat persembunyian para pejuang maupun perlengkapan-perlengkapan militer. Jika ada rumah rakyat yang menyimpan perlengkanapan militer seperti sepatu, pakain seragam dan senjata, tidak segang-segang akan dibakar. Harga barang-barang dagangan pada saat itu berkisar antara 750 perak sampai 600 perak. Sedangkan barang dagangan yang sangat dibutuhkan oleh para pengunggsi yaitu minyak tanah sebagai bahan penerangan pada malam hari.
Antara tahun 1946 sampai 1949 sudah terselenggara, namun belum berjalan secara maksimal, karena sering terjadi perang. Sehingga kegiatan sekolah sering berpindah-pindah, bahkan dalam situasi perang sekolah harus tutup. Sarana pendidikan pada saat perang masih sangat sederhana, kegiatan sekolah dilaksanakan dirumah penduduk atau gubug sederhana, tempat duduk terbuat dari rangkaian bambu. Meja hanya ada satu itupun untuk guru, sdangkan siswa menulis menggunakan sabak (tanah liat padat yang dibakar) dan kapur. Setelah tahun 1951 pendidikan mulai berjalan normal kembali, karena keamaan sudah mulai kondusif.



Diceritakan kembali oleh Bpk Rochman dan Bpk Saeroji selaku saksi sejarah
Ditulis kembali oleh Saefuloh Al Masnun, S.Pd


4 komentar:

  1. Trimakasih pak saeful,,,alur critanya sangat bagus,,cuma, terlalu singkat,,coba di gali lagi crita crita yg laen,barangkali mumpung masih ada saksi /pelaku sejarahnya, critanya lebih valid,,Asaalamualaikum,,,

    BalasHapus
  2. Mohon sejarah ini lebih di gali lagi saya yakin masih banyak pelaku sejarah dan referensi yang mampu mengungkap Bobotsari berhitmad untuk Bangsa.......buatkan Cergam ttg Sejarah Bobotsari tuk generasi muda kita.....Selamat berjuang kangmas Saeful, dg mata penamu nasib generasi muda bocari, bisa paham sejarah.........

    BalasHapus
  3. ijin download pak Saiful...Luar biasa pendidik yang satu ini. Hebat

    BalasHapus