Kapak
perunggu yang ditemukan di Indonesia memiliki berbagai macam bentuk dan ukuran.
Ada yang kecil dan bersahaja; ada yang besar dan memakai hiasan; ada yang
pendek lebar; ada yang bulat, dan adapula yang panjang satu sisinya. Yang
panjang satu sisinya disebut Candrasa.
Di lihat dari kegunaannya, maka kapak perunggu dapat berfungsi sebagai alat upacara,
benda pusaka dan sebagai pekakas atau alat untuk bekerja. Secara Tipologik,
kapak perunggu digolongkan menjadi dua, yaitu: kapak corong dan kapak upacara.
Pada umumnya kapak perunggu yang terdapat di Indonesia mempunyai lubang seperti
corong untuk memasukan kayu sebagai tangkai. Setelah diberi tangkai kayu, bentuknya
menyerupai kaki orang yang bersepatu, maka dinamakan “kapak sepatu”.
Ada
pula kapak perunggun yang diberi hiasan dan tanpa hiasan. Pada candrasa yang
ditemukan di daerah Yogyakarta, di dekat tungkainya terdapat lukisan yang
sangat menarik yaitu seekor burung terbang memegang sebuah candrasa yang
tangkainya sangat pendek. Sedangkan teknik pembuatan kapak perunggu atau corong,
menggunakan teknik a cire perdue. Karena di dekat Bandung ditemukan
cetakan-cetakan dari tanah bakar untuk menuangkan kapak corong. Dari hasil penyelidikan,
menyatakan bahwa yang dicetak adalah bukan logamnya, melainkan kapak. Kapak
perunggu untuk pertama kalinya ditemukan oleh G. E. Rumpius berasal dari awal
abad ke-18.
Daerah-daerah
temuan kapak perunggu di Indonesia adalah Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tengah dan Selatan, Bali, Flores, pulau Roti dan
Irian Jaya dekat Danau Sentani. Kapak perunggu atau corong yang ditemukan di
Sumatera Selatan, Jawa, Bali, sulawesi Tengah dan Selatan, pulau Selayar dan
Irian dekat Danau Sentani memiliki beragam jenis.