Dukuh Mujan merupakan daerah
perbukitan yang letaknya diantara pertemuan sungai Klawing dengan sungai
Lokrang. Meskipun demikian pada 40.000
tahun yang lalu sudah ditempati oleh manusia keturunan bangsa Proto Melayu ras
Austronesia yang berasimilasi dengan ras Austro-Melanesoid. Keturunan inilah
yang kemudian menjadi berbagai suku bangsa yang menyebar diseluruh Indonesia.
Oleh karena itu dalam persebarannya mereka membawa hasil-hasil kebudayaan batu
besar yang berkembang sejak kebudayaan muda atau neolithicum sampai pada jaman
kebudayaan logam. Bukan hanya itu saja, dalam persebarannya mereka juga telah
mengembangkan sistim kepercayaan animisme dan dinamisme.
Pada perkembangan lebih lanjut,
mereka membuat bangunan-bangunan megalithik yang bertujuan untuk menghormati
dan menyembah arwah nenek moyang. Adapun bentuk bangunan megalithik yang
terdapat di dukuh Mujan berupa menhir.
Menhir yang mereka bangun bentuknya semacam tugu terbuat dari lempengan batu
utuh. Lempengan batu ini kemudian sebagian ditanam di dalam tanah, sedangkan
sisanya ada di atas permukaan tanah. Bangunan ini digunakan untuk mengikat
hewan kurban pada saat melakukan upacara
pemujaan terhadap arwah nenek moyang.
Hal ini sangat mungkin, karena batu menhir tersebut ditanam berjajar.
Tetapi apabila dibandingkan dengan batu menhir yang ditemukan di Sumatera,
Sulawesi Tengah dan Kalimantan sudah diberi ukiran semacam kepala manusia.
Namun keberadaan batu menhir yang terdapat di dukuh Mujan terbuat dari lempengan
batu kali ( batu granit ) yang sangat keras, sehingga sangat sulit untuk
diukir.
Dengan perbandingan semacam itu,
menunjukkan bahwa manusia purba yang pernah menempati dukuh Mujan belum
mengenal seni pahat atau relief. Hal ini terbukti dari bangunan batu menhir
yang masih polos dan belum sedikitpun mendapat sentuhan seni. Sehingga
batu menhir yang mereka dirikan sangat mungkin merupakan bangunan batu
besar yang lebih tua usianya, jika dibandingkan dengan yang ditemukan pada
daerah-daerah lain di Indonesia.
Maka jika ditinjau dari pendapat para
ahli arkheologi, peninggalan tersebut mulai berkembang pada jaman kebudayaan
batu madya. Karena pada jaman ini manusia purba sudah mulai mengenal sistim
kepercayaan, seni lukis, meskipun bentuknya masih sederhana, sedangkan bentuk
seni yang lain seperti relief belum dikenal. Oleh karena itu mereka hanya
memanfaatkan batu yang pada sisi sebelahnya sudah rata.
Menurut keterangan dari penduduk setempat sisa
bangunan tersebut jumlahnya ada lima buah, tetapi yang berhasil ditemukan
kembali hanya empat buah, sedangkan yang satu buah lagi tidak dapat ditemukan.
Selain itu, dari hasil ekskavasi juga ditemukan
benda-benda lain, seperti gelang, gelas dan gamparan semacam alas kaki. Benda –
benda tersebut merupakan perhiasan dan terbuat dari batu chalsedon yang sangat
indah warnannya.
Setelah diadakan penggalian oleh para arkheolog dari Universitas Gajah
Mada, Jogjakarta, tahun 1980, maka bangunan tersebut dikembalikan ketempat semula, meskipun tidak menjadi satu lokasi.
Sedangkan pemeliharaan dan perawatan bangunan tersebut sampai sekarang masih
dibawah tanggung jawab Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan, serta dilindungi oleh
Undang-Undang Nomor 5, tahun 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar